April 18, 2008

Duri DALAM JIWA (Asywak)

ABSTRACT:
Keterusterangan memang sesuatu yang kadang menyakitkan, apalagi itu adalah sebuah nilai kesucian. Namun, kesucian yang kini tertancap duri tajam akankah mampu menggoyahkan sendi-sendi kebahagian? Akankah seorang lelaki bersabar dan setia menghadapi kenyataan, bahwa sang kekasih telah tertoreh luka karena duri tajam? Sementara, sang wanita yang telah terluka dicekam ketakutan seolah malam persembahan kesucian adalah saat kiamat tiba.
Hidup dalam mimpi telah memperbesar khayalan, dan makhluk inilah yang menjadi teman hidup. Terbebas atau terpenjara oleh mimpi mungkin tidak penting, karena yang terpenting sang lelaki telah tahu apa makna duri yang tersembunyi di tengah jiwa. Duri yang ketika menancap dijiwa memang menyakitkan, tetapi seiring waktu merambat, kehadirannya justru membuat hidup menjadi berharga, setidaknya untuk direnungkan dan digali mutiara intan berlian kekayaan batinnya.
*************************************************************************************

Kerinduan...selalu membuat kehagiaan. Kerinduan itu pulalah yang membuat sepasang kaki seolah berlomba, bergerak bagai mesin bergantian. Karenanya, jantung pun terus memompa rindu, harapan keluar masuk melalui jaringan darah, hingga sekujur tubuh menjadi hidup dan bersemangat. Impian juga menyelimuti hati dan raga, menggerakkan jasad untuk membangun sebuah rumah mungil yang selalu dirindukan, menjalani hari-hari dengan khayalan, dan hidup dalam mimpi-mimpi ini seperti hidup dalam kenyataan. Tapi khayalan pulalah yang membuat kita tenggelam, karena terkadang tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan. Lantas, apa bedanya khayalan dan kenyataan bila masing-masing ditanggapi dengan hati dan pikiran, serta meninggalkan bekas dalam jiwa dan kehidupan? Apa bedanya antara mimpi dan kenyataan, bila masing-masing merupakan khayalan yang lewat, yang memberikan bayangannya pada jiwa, lalu beberapa saat kemudian bersembunyi dari alam indera?
Kenyataan yang ada, sang kekasih telah tergores luka tajam. Ia tertusuk, sadar telah terbangun dan kehilangan mimpi bersama bidadari yang dituntun dengan kedua mata terpejam menuju tempat tinggal penuh keindahan. Seorang bidadari yang sejak perjumpaan pertama telah membuatnya terpesona dan mabuk kepayang. Karena sang bidadari itu pulalah ia mempersiapkan raga dan seluruh perasaan demi menyongsong hari yang dijanjikan, hidup bersamanya untuk mempersembahkan gairahnya dalam sebuah rumah tangga yang disahkan agama.
Ia membayangkan dirinya di saat-saat tidak lagi hidup di bumi dan hanya merasa bahwa kehidupan adalah semata-mata impian yang membahagiakan. Impian itu kadang berupa lagu merdu yang penuh rahasia, menggemuruhkan hati, menggerakkan pikiran, dan membangkitkan kemabukan, impian, kerinduan, dan keluluhan dalam perasaan. Ia telah mencintai gadis itu yang selalu menyanyi dengan tangan dan hati, dengan urat syaraf dan paras muka yang segar. Gadis itu adalah lagu itu sendiri dalam bentuk nyata sebelum akhirnya duri-duri pun muncul mengganggu. Lagu itu pelan-pelan merayap ke dalam dirinya dan dengan halus nada-nada lembut pun tumpah dalam syarafnya. Diri menjadi tenang dan syarafnya lega. Ia terlena, mabuk, lalu melayang-layang di angkasa rasa yang jernih.
Namun, kenyataan kadang terpisah dengan khayalan, tapi itu menjelma pada dalam diri bidadarinya. Ya! Ia adalah bidadari, sekaligus ibu, ibu yang kelak dari rahimnya terlahir si kecil dengan selimut kasih sayang. Sang bidadari kemudian membungkuk dengan penuh kasih lalu mengangkat si kecil ke dalam dekapannya dengan lembut, menepuk-nepuk punggungnya dan menuju ke ranjang dengan pelan. Kemudian terpampanglah pemandangan yang mempesona yang belum pernah terlihat selama hidupnya, kecantikan yang terpancar dalam wajah rupawan, pandangan penuh kasih dalam dua mata penuh pesona, gerakan lemah dalam anggota tubuh yang matang, dan ciuman panjang dari dua bibir yang menggoda. Ah...ia memang bidadari, karena hanya bidadarilah yang memiliki sifat-sifat keibuan yang sempurna
Saat rembulan menyuguhkan hidangan malamnya, ia merasa ada semacam kesucian pada sang gadis. Namun, saat terlontar pikiran seperti itu, terkadang kedukaan yang begitu berat dan kebisuan menusuk-nusuk, menyedihkan. Ia lalu mematikan lampu, dan menuju tempat tidur sambil mencoba menahan air mata sebisa mungkin. Ketika berbaring, air mata itu bergerak, menerobos kelopak mata, menuju ke pipi, ke bantal dan membasahi sarung bantal dan kapuk di dalamnya. Sang lelaki tegar pun tertidur dengan tubuh lemah. Air mata menjadi bahasa sunyi dan wakil dari perasaan duka yang dihimpit oleh nasib.
Saat ia terbangun, ia mendapati dirinya berjiwa harum. Ia bangun dengan jiwa yang jernih, seperti kejernihan seorang sufi. Haruskah ia meninggalkan sang gadis yang telah bergulat dengan duri-duri, dan melawan masa lalu? Bahkan, setelah itu semua, sang gadis memberikan jiwa kepadanya, tanpa tirai atau selimut apa pun. Kerinduan itu menusuk kembali. Perasaannya menggelora hebat dan raganya bergetar karena cinta. Segala sesuatu yang ada pada sang gadis telah menjadi bagian dari kecintaan, disenangi jiwanya, dan mengalirkan cinta dalam tulang sumsumnya. Sesuatu itu diselimuti cahaya mempesona, yang memunculkan khayalan dan mimpi indah memabukkan, hingga ia larut dalam lautan kerinduan.
Akankah sang lelaki bebas atau terpenjara oleh mimpi? Baginya, semua itu tidak penting. Sebab ia telah tahu apa makna duri yang tersembunyi di tengah jiwa. Duri yang ketika menancap dijiwa memang menyakitkan, tetapi lama kelamaan kehadirannya justru membuat hidup menjadi berharga. Setidaknya untuk direnungkan dan digali mutiara intan berlian kekayaan batinnya, juga kekayaan cinta yang sangat sulit dirumuskan ketinggian nilainya. Ya...cinta memang telah membuat sang lelaki merasa kaya, dan ia merasa cukup mensyukuri hal ini selama hari-hari bergerak menuju ujung hidupnya.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah
---------------------------------
Original Title: Duri Dalam Jiwa (Asywak)
Author: Sayyid Qutb
Editor: Abu Aufa
Catatan: Ide tulisan ini adalah dari sebuah novel yang berjudul Duri Dalam Jiwa, Penerbit Navila. Sayyid Qutb menulis novel ini pada tahun 1947, jauh sebelum beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.

GENGAMAN WAKTU DAN KETIKA